Senin, 18 Oktober 2010

Wasiat Nabi Ke III

Berikut ini adalah Trilogi Ketiga (Bagian Terakhir) dari Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang diwasiatkannya kepada kita umat Islam :
1. “Diam” untuk Berpikir
Dalam keseharian, ada 2 kegiatan yang saling bertolak belakang ; “diam” dan “bicara”. Kalau tidak diam, pasti bicara, kalau tidak bicara, kita pasti diam. Pada kenyataannya, sering kali kita tidak tahu (atau tidak mau tahu (?) bagaimana kita bersikap ketika berbicara dan apa yang mesti kita lakukan ketika diam. Dalam hadits ini Allah SWT memberi wasiat kepada kita melalui RasulNya SAW tentang hal ini, yaitu ketika “diam”, kita harus “berpikir” dan ketika “berbicara”, kita harus “berdzikir”
Berpikir tentu saja tidak sama dengan ngelamun, berkhayal tentang hal-hal yang negatif, atau lain-lainnya yang berbahaya. Berpikir, menurut istilah psikologi, adalah salah satu aktivitas jiwa yang melahirkan pengertian (komprehensi), pendapat (opini) dan kesimpulan (konklusi) tentang hal-hal yang positif dan gagasan-gagasan yang bermanfaat untuk diri sendiri atau orang lain.
Islam adalah agama yang sangat mengutamakan kegiatan berpikir, Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW yang menyuruh kita untuk berpikir. Perintah pertama dalam Al-Quran “Iqro’” dan ayat-ayat lain yang berupa perintah untuk berpikir atau berupa pertanyaan-pertanyaan retoris lainnya, tidak bisa dilepaskan dari konotasi berpikir ini. Demikian juga dalam hadits, Rasulullah SAW menegaskan Ad-Din huwa al-‘Aql. La dina liman la ‘aqla lahu (Agama itu adalah akal (berpikir). Tidak dianggap sempurna agama bagi orang yang tidak (mau) berpikir). Bahkan dalam hadits lain (aw kama qila), Rasululullah SAW menegaskan : At-Tafakkur sa’atan khoirun minal Ibadah sanatan (Berpikir satu jam lebih baik dari pada ibadah (tanpa berpikir) satu tahun. Subhanallah. Begitu tingginya nilai berpikir dalam Islam. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa : “Umat Islam mundur karena mereka malas berpikir”. Dan itu semua hanya bisa dilakukan dengan penuh konsentrasi, apabila kita sedang diam. Ash-Shomtu hikmatun wa qolilun fa’iluhu. (Diam itu penu hikmah, tapi sedikit yang bisa melakukannya)
2. “Bicara” untuk Berdzikir
Dalam berbicara, seringkali justru kita berdosa, karena tidak bisa mengendalikan diri atau berbohong. Paling tidak, ada 4 dosa yang bisa muncul akibat bicara yang tidak terkendali. (1). Ghibah (ngerasani) yaitu berbicara tentang kejelekan orang lain di belakangnya, walaupun memang benar dan apa adanya (2). Syatm atau mencaci orang lain dengan kata-kata kotor (3) Buhtan yaitu berbicara tentang hal-hal yang tidak benar/dusta (4). Fitnah, yaitu menyebarkan ke tengah-tengah halayak tentang sesuatu yang tidak benar/dusta, baik menyangkut seseorang ataupun sekelompok orang.
Karena itu, kita diperintahkan agar dalam berbicara apapun kita selalu berdzikir. Seperti kita ketahui ada 3 jenis Dzikrullah, yaitu dzikir dengan hati (Dzikrul Qolb), dengan lisan (Dzikrul Lisan), dan dengan perbuatan (Dzikrul Jawarih). Berdzikir ketika berbicara ini termasuk Dzikrul Lisan, artinya kita harus berusaha untuk tidak melanggar nilai-nilai akidah, syariat, dan akhlaq, ketika kita berbicara tentang apa saja, dimana, kapan, dan dalam situasi apa saja. sehingga tidak sampai melakukan 4 jenis dosa di atas. Kalau tidak, lebih baik kita diam saja. Tentu saja, diam untuk berpikir. Sabda Rasul SAW : Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaknya ia bicara yang baik atau diam saja. (Man kana yu’minu billahi wal-yaumil akhir, falyaqul khoiron aw li yashmut)
3. “Melihat” untuk Mengambil I’tibar.
Ketika kita melihat (atau setidaknya mendengar) kejadian atau peristiwa apapun yang terjadi di sekitar kita atau di tempat-tempat yang jauh, kita diperintahkan untuk bisa mengambil “i’tibar” (hikmah dan pelajaran) darinya. Peristiwa-peristiwa tersebut bemacam-macam, ada yang berupa fenomena alam atau fenomena sosial, fenomena politik, ekonomi, budaya, dll. Ada peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan bahkan mengenaskan, ada yang berupa kejadian yang mendadak atau yang memang merupakan akumulasi dari sebuah proses rekayasa yang panjang, dll. Peristiwa-peristiwa tersebut pada hakekatnya merupakan salah satu dari tanda-tanda keagungan Allah SWT, untuk menguji kita, apakah kita bersyukur atau kufur.
Kemampuan mengambil i’tibar ini tentu saja pertama kali harus dimulai dengan “dzikirullah”, baru dilanjutkan dengan “berpikir” tentang fenomena-fenomena tersebut (baik yang bersifat substantif, proses, atau instrumentatif), serta dampak-dampak yang muncul di balik fenomena tersebut. Kemudian kita akhiri dengan “pengakuan” bahwa semuanya ini tidaklah diciptakan dengan sia-sia (bathil), dan kita “bertasbih” serta mohon “perlindungan” dari siksa api neraka (Robbana ma kholaqta hadza bathilan. Subhanaka. Faqina ‘adzaban-nar)
IKHTITAM
Demikianlah, lengkap sudah Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang kemudian diwasiatkannya kepada kita. Tentu saja, sebagai umatnya, kita harus berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang mendapatkan 3 amanat paling utama dari Allah SWT, yaitru amanat ilmu bagi para “Ulama’”, amanat kekuasaan bagi para “Umaro’”, dan amanat harta benda bagi para “Aghniya’”. Semoga untuk itu semua, kita selalu nemperoleh taufiq dan hidayah, ma’unah dan inayah serta rahmah dan barokah dari Allah SWT. Amien.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More