Senin, 18 Oktober 2010

Wasiat Nabi Ke II

Kalau pada edisi yang lalu, kita telah menguraikan Bagian I (Trilogi Pertama) dari Sembilan Wasiat Nabi SAW, yaitu agar kita bersikap “ikhlas” baik secara sembunyi–sembunyi atau terang-terangan, bersikap “adil” ketika marah atau ketika rela, dan bersikap “sederhana” dalam keadaan kaya atau miskin, maka dalam edisi kali ini akan kita lanjutan pada uraian selanjutnya, yaitu Bagian II (Trilogi Kedua) dari Sembilan Wasiat tersebut. yaitu:
1. Agar memaafkan orang yang mendholimi kita.
Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering kali didholimi (diperlakukan tidak adil atau tidak proporsional) oleh orang-orang lain di sekitar kita, baik langsung maupun tidak langsung, secara fisik atau non-fisik, material atau immaterial, oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya dari kita, seperti para pejabat, penguasa, bos atau orang kaya, atau oleh orang yang sederajat dengan kita, seperti teman sekantor, seprofesi atau teman seorganisasi dll, atau bahkan oleh orang yang lebih rendah kedudukannya dari kita, seperti anak kandung, anak buah. anak didik, dan lain-lainnya. Allah SWT lewat RasulNya SAW memerintahkan kita untuk memaafkan orang-orang tersebut.
2. Agar memberi kepada orang yang mencekal kita.
Sesuai dengan sunnatullah yang berlaku untuk makhlukNya, selain kewajiban yang harus dijalankan, kita juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi. Tapi kenyataannya, seringkali hak-hak tersebut tidak dipenuhi, dicekal, dirampas atau dikebiri oleh orang-orang lain di sekitar kita. Hak-hak tersebut bermacam-macam ; kadang berupa harta, pangkat atau jabatan, tapi juga bisa berupa pelayanan atau pemberian kesempatan. Perampasan atau pengebirian ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kita, baik lebih tinggi secara material ataupun lebih tinggi dalam status sosial dan hirarki organisatoris. Dalam konteks ini, kita diperintahkan oleh Allah SWT lewat RasulNya SAW untuk tetap memberi atau memenuhi hak-hak mereka, siapapun mereka dan apapun motif mereka mencekal kita.
3. Agar menyambung kembali tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya.
Memutuskan tali silaturrahim biasanya dilakukan seseorang, karena adanya alasan-alasan tertentu atau bahkan tanpa alasan apapun. Alasan-alasan itupun bermacam-macm : ada yang jelas dan disengaja tapi ada juga yang sama sekali tidak diketahui dan tidak disengaja, ada yang menyangkut urusan ekonomi, jabatan, pengaruh dan politik. Ini sering terjadi dalam pergaulan hidup sehari-hari, tidak saja antar teman sejawat, bahkan juga sering terjadi antar orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan.
Dalam konteks ini, kita diperintahkan Allah dan RasulNya agar terus berusaha untuk menyambung kembali tali silaturrahim tersebut.
Amma Ba’du….
Ketiga sikap tersebut (memaafkan orang yang mendholimi. memberi orang yang mencekal dan menyambung tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya) rasa-rasaya “sangat pas dan cocok” untuk para pemimpin atau calon-calon pemimpin kita–formal, nonformal atau informal- terutama pada saat persaingan antar kepentingan yang sangat ketat dan keras (kunkurensi) seperti sekarang ini. Memang sangat sulit ! Apalagi terhadap orang-orang yang memang jelas-jelas –atau kita anggap- “bersalah” kepada kita atau kepada orang yang kita anggap sebagai “musuh dan saingan” kita –terang-terangan atau dalam selimut-. Sungguh sangat sulit untuk dilaksanakan, bukan? Tapi kita harus sadar bahwa semua itu bukan hal yang mustahil atau tidak mungkin, sebab Allah dan RasulNya tidak akan menyuruh kita untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan. “La yujakalliful Lah nafsan illa wus’aha” kata Allah.
Terus bagaimana caranya, agar kita mampu melaksanakan ketiga Wasiat Nabi SAW ini? Paling tidak, ada 5 langkah yang harus kita coba laksanakan dengan sungguh-sungguh dan istiqamah : Pertama, “Dzikrullah” Kita harus memulai upaya ini dengan mengingat dan menyebut asma Allah, agar Allah selalu mengingat kita. Kalau sudah begitu, pasti. kita akan selalu mendapat pertolongan, perlindungan dan pembelaan dari Allah. Firman Allah : “Fadzkuruni adzkurkum”. Kedua, “Haqqul Yaqin”. Kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa ini adalah wasiat Allah dan RasulNya untuk kebaikan kita sendiri dan kita harus yakin bahwa kita pasti bisa melakukannya dengan taufiq dan ma’unah Allah. Kalau tidak yakin, kita tidak akan pernah bisa. “Man la ya’taqid la yantafi’”. Ketiga, “Husnudhdhon”. Kita harus selalu berbaik sangka terhadap siapapun bahkan terhadap orang yang berbuat jahat kepada kita. Umpamanya, ketika didholimi, dicekal atau diputus tali silaturrohim, kita anggap saja mereka berbuat begitu, karena ketidaktahuan mereka terhadap diri dan kondisi kita yang sebenarnya. Keempat, “Muhasabah” (introspeksi). Kita harus selalu bertanya kepada diri sendiri dan menjawabnya dengan jujur, bahwa mereka melakukan hal–hal tersebut, mungkin karena memang bersumber dari kesalahan atau kelemahan kita, bukan semata-mata karena kejahatan dan keburukan mereka. Kelima. “Dzikrullah” Kita akhiri semua usaha ini dengan mengingat Allah kembali, dengan tasbih, tahmid, tamjid dan istighfar, dan lain-lainnya.. “Subahanakal Lahumma wa bihamdiKa. Asyhadu an la ilaha illa Anta, AstadghfiruKa wa atubu ilaiKa. SubahanaKa fa qina ‘adzaban nar”. Nah, Selamat Mencoba dan Memperhatikan kelima langkah ini. “Jarrib wa lahidh takun ‘arifan.
Akhirnya…, perlu disadari bahwa semua sikap terhadap berbagai kedholiman dan ketidakadilan seperti yang disebutkan tadi, hanyalah apabila hal itu menyangkut hak-hak dan kepentingan pribadi atau kelompok. Tapi apabila kedholiman dan ketidakadilan tersebut sudah menyangkut prinsip-prinsip agama atau kehormatan bangsa, tentu saja sikap kita harus berbeda. “Janganlah kita marah atau tersinggung, hanya karena urusan pribadi atau kelompok. Tapi marahlah dan tersinggunglah karena Allah, demi Allah dan untuk Allah semata.”. Wallahu A’lam wa Ahkam.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More