Senin, 18 Oktober 2010

Pengertian Haid

Pendahuluan


Menurut Syara', darah yang keluar dari kemaluan wanita itu ada tiga: Haid, Nifas dan Istihadloh. Yang merupakan perkara penting yang harus di jelaskan dan dimengerti hukumnya. Oleh karena itu bagi wanita wajib mengetahui tentang hukum yang berhubungan dengan ketiga darah tersebut, bahkan seorang suami tidak berhak melarang istrinya keluar rumah untuk mempelajari hukum tersebut kecuali seoramg suami telah faham atau mau belajar ke yang lebih pintar kemudian mengajarkan pada istrinya.

Pengertian Haid.

Secara bahasa (etimologi) Haid berarti mengalir, dan menurut Istilah Syara' adalah darah yang keluar dari pangkal rahim wanita setelah berumur sembilan tahun bukan karena sakit atau melahirkan.
Jadi, Haid itu merupakan proses Fisiologis yang di alami oleh setiap wanita. Oleh karena itu antara wanita yang satu dengan wanita yang lain kemungkinan terjadi perbedaan yang nyata dalam mengeluarkan darah tergantung dari kondisi fisik dan iklim yang mempengaruhinya.
Sifat-sifat darah adalah:
Kental Berbau (bacin) Cair Tidak berbau Selain itu darah Haid mempunyai lima warna yaitu:
Kehitaman Merah Merah kekuning-kuningan. Kuning Keruh Dari sifat-sifat tersebut, sifat yang paling atas adalah sifat yang kuat (qowi),

Masa Haid:

Masa Haid paling sedikit 24 jam/sehari semalam. Masa Haid maksimal 15 hari. Masa Haid kebiasaan umam para wanita 6-7 hari.
Masa suci:

Masa suci minimal 15 hari. Masa suci maksimal tidak terbatas. Masa suci kebiasaan 23/24 hari.
Pengertian Nifas:

Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirakan sebelum selang 15 hari bersih dan tidak melebihi 60 hari.
Darang yang keluar bersamaan dengan keluarnya bayi tidak dapat dikatakan Nifas tetapi darah Tholq/Wiladah, begitu juga darah yang keluar setelah masa bersih 15 hari maka darah itu termasuk Haid kalau memenuhi persyaratan.

Masa Nifas:

Masa minimal: sebentar (Majjah)
Masa maksimal: 60 hari
Masa kebiasaan: 40 hari.

Suci diantara Haid dan Nifas:
Tidak ada ketentuan adanya pemisah diantara Haid dan Nifas cukup dengan adanya melahirkan sebagai pemisah.
Tapi kalau antara Nifas dan Haid harus ada pemisah walau sebentar kalau Nifas telah mencapai batas maksimal, tapi kalau tidak, maka pemisah itu setidak-tidaknya harus ada 15 hari atau kalau di gabung dengan Nifas melebihi 60 hari.

Pengertian Istihadloh:

Istihadoh adalah darang yang keluar pada hari-hari yang keluar atau melebihi masa Haid dan Nifas.
Penggolongan Wanita Istihadloh:

1. Mubtadiah Mumayyizah:

Pengertian: belum pernah Haid tetapi mampu membedakan sifat darah.
Syarat-syarat membedakan darah adalah:
1. Darah kuat tidak kurang dari batas minimal Haid ( 24 jam )
2. Darah kuat tidak melebihi batas maksimal Haid ( 15 hari ).
3. Darah lemah tidak tidak kurang dari batas minimal suci (15 hari ) jika darah terus menerus.
4. Darah yang lemah harus tidak terputus oleh darah kuat.

Ketentuan Hukum: Darah kuat di klasifikasikan Haid, dan yang lemah di anggap darah Mustahadloh.

2. Mubtadiah Ghoiru Mumayyizah:

Pengertian: belum pernah Haid dan tidak mampu membedakan sifat darah, termasuk kategori perempuan yang melihat darahnya denngan satu warna dan perempuan yang tidah memenuhi salah satu dari syaratnya membedakan darah.

Ketentuan hukum: Yang dihukumi Haid adalah sehari semalam yang awal, dan seterusnya adalah Haid.

3. Mu'taddah Mumayyizah:
Pengertian: sudah pernah Haid dan suci dan mampu membedakan sifat darah.

Ketentuan hukum: darah kuat di klasifikasikan Haid, dan yang lemah di anggap darah Mustahadloh, meski berbeda dengan kebiasaan masa Haidnya.

4. Mu'taddah Ghoiru Mumayyizah Dzakirah Li 'Adatiha Qodron wa Waqtan:

Pengertian: sudah pernah Haid dan suci dan tidak mampu membedakan sifat darah tetapi ingat kebiasaan dari masa Haid dan waktunya.

Ketentuan hukum: penghitungan Haid dikembalikan pada kebiasaan (adad).
Sedang penggunaan adad sebagai setandar hukum adalah:
1. Apabila adad Haid dan suci tidak berubah-rubah (tetap) maka Haid dan sucinya disamakan dengan adad tersebut secara tetap.
2. Apabila adad Haid dan suci berubah-rubah maka ada 7 kemungkinan:
a. Mencapai dua putaran secara tartib dan dia lupa urutannya beserta lupa Haid terakhir maka Haidnya adalah yang paling sedikit diantara Haid yang ada kemudian Ihtiyath (berhati-hati dalam hukum) sampai pada Haid terbanyak.
b. Mencapai dua putaran tapi tidak tartib dan dia lupa Haid terakhir maka Haidnya adalah yang paling sedikit diantara Haid yang ada kemudian Ihtiyath (berhati-hati dalam hukum) sampai pada Haid terbanyak.
c. Tidak mencapai dua putaran dan dia lupa Haid terakhir Haidnya adalah yang paling sedikit diantara Haid yang ada kemudian Ihtiyath (berhati-hati dalam hukum) sampai pada Haid terbanyak.
d. Mencapai dua putaran serta tartib dan dia lupa urutanya serta ingan Haid terakhir maka Haidnya adalah yang paling sedikit diantara Haid yang ada kemudian Ihtiyath (berhati-hati dalam hukum) sampai pada Haid terbanyak.
e. Mencapai dua putaran dan tidak tartib beserta ingat Haid terakhir maka Haid di kembalikan pada Haid bulan sebelum Istihadloh ketika ada.
f. Tidak mencapai dua putaran beserta ingat Haid terakhir maka Haid di kembalikan pada Haid bulan sebelum Istihadloh ketika ada.
g. Mencapai dua putaran dan tartib beserta ingat Haid terakhir maka Haid Haid sesuai dengan runtutan adadnya.

5. Mu'taddah Ghoiru Mumayyizah Nasiyah Li 'Adatiha Qodron wa Waqtan:

Pengertian: sudah pernah Haid dan suci dan tidak mampu membedakan sifat darah dan lupa kebiasaan dari masa Haid dan waktunya.

Ketentuan hukum: dia dihukumi Haid pada sebagian hukum ( bersenang-senang dengan suami antara pusar danlutut, membaca al-Quran selain dalam Sholat, membawa dan memegang al-Quran dan berhenti dan meliwati masjid bila hawatir mengotorinya). Dan dia dihukumi suci dalam sebagian hukum ( kewajiban menjalankan Sholat, puasa, thowaf talak dan I'tikaf ) dan dia setiap akan menjalankan sholat fardlu diharuskan mandi besar.

6. Mu'taddah Ghoiru Mumayyizah Dzakirah Li 'Adatiha Qodron La Waqtan:
10
Pengertian: sudah pernah Haid dan suci dan tidak mampu membedakan sifat darah tetapi ingat kebiasaan dari masa Haidnya saja dan waktunya tidak ingat.

Ketentuan hukum: hari yang diyaqini Haid di hukumi Haid, dan hari yang diyaqini suci dihukumi suci, dan hari yang ada kemungkinan suci dan Haid dihukumi sebagaimana orang yang lupa kebiasaan dari masa dan waktunya Haid (Mutahayyiroh).

7. Mu'taddah Ghoiru Mumayyizah Dzakirah Li 'Adatiha Waqtan La Qodron:

Pengertian: sudah pernah Haid dan suci dan tidak mampu membedakan sifat darah tetapi ingan kebiasaan dari waktu Haidnya saja dan masanya tidak ingat.

Ketentuan hukum: hari yang diyaqini Haid di hukumi Haid, dan hari yang diyaqini suci dihukumi suci, dan hari yang ada kemungkinan suci dan Haid dihukumi sebagaimana orang yang lupa kebiasaan dari masa dan waktunya Haid

Catatan penting:
Datah masih di hukumi keluar (belum terputus) sekiranya kapas yang dimasukkan masih ada warnanya darah, walaupun warnanya keruh. Dan ketika kapas yang dimasukkan sudah tidak ada bercak darah, maka dihukumi bersih (putus darah). Haid atau suci yang diusahakan dengan obat itu sah dan boleh sepanjang tidak membahayakan tubuh dan aqal. Anggota tubuh (mis: kuku, ranbut dll) yang terputus saat hadats besar, itu tidak wajib dibasuh, yang wajib dibasuh sisa potongan yang masih melekat pada tubuh. Sedang sengaja memotong hukumnya haram.

Hal-hal yang diharamkan ketika Haid atau Nifas:

1. Melakukan bersuci (Thoharoh) dengan niat menghilangkan hadats atau niat Ibadah.
2. Sholat baik fardlu atau sunah atau Sujud.
3. Thowaf.
4. Berpuasa.
5. Membaca al-Quran.
6. Memegang mushhaf (al-Quran).
7. Bersetubuh atau bersentuhan kulit pada anggota tubuh antaru lutut dan pusar.
8. Dicerai.

Kewajiban perempuan Mustahadloh sebelum sholat:

Membersihkan kemaluanya dari najis. Menyumpal kemaluannya dengan kapas untuk mencegah keluarnya darah kecuali akan menuimbulkan sakit atau dia sedang berpuasa, apabila tidak cukup, maka di ikat supaya kuat. Berwudlu ketika waktu sholat sudah masuk. wajib langsung sholat kecuali menunggu jama'ah atau hal-hal yang berhubungan dengan Sholat.
Hal diatas wajib dilakukan setiap akan melakukan sholat Fardlu.

Bab Darah Wanita II

Darah Haid, berdasarkan istiqro’ (Penelitian) Imam Syafi’i, maximal keluar selama lima belas hari, pada umumnya keluar hanya enam hari, dan minimal satu hari satu malam. Sedangkan Nifas (darah yang keluar paska melahirkan bayi), maximal keluar selama enam puluh hari, minimal satu percikan/bercak, dan rat-rata keluar selama empat puluh hari. Selain haid dan nifas ada juga darah Istihadlo. Yaitu, darah yang keluar pada waktu-waktu selain haid dan nifas.
Kiranya yang anda tanyakan adalah termasuk darah Istihadlo. Karena durasi darah yang keluar lebih dari lima belas hari. Sebab, darah yang keluar melebihi lima belas hari atau kurang dari satu hari satu malam bukan kategori darah haid. Darah yang anda keluarkan adalah darah istihadlo.
Darah istihadlo adalah darah yang disebabkan kelainan biologis seseorang. Darah ini termasuk darah penyakit. Orang yang mengeluarkan darah istihadlo, wajib mengerjakan semua amalan ibadah, seperti sholat, haji, dan puasa. Tidak sebagaimana wanita yang sedang haid. Orang yang datang masa haid (menstruasi) tidak wajib mengerjakan amalan ibadah, bahkan haram baginya mengerjakan amalan ibadah. Karena orang haid tidak memenuhi persyaratan dalam beribadah.
Apabila orang yang mengeluarkan darah Istihadlo hendak melakukan ibadah, maka wajib baginya (maaf) menyumbat (memasukkan) dengan kain atau kapas atau yang lainya sampai pada batas dalam kemaluan, yaitu sampai batas kemaluan yang terlihat pada saat duduk jongkok. Setelah itu wajib pula melapisinya dengan pembalut agar tidak bocor atau merembes ke permukaan kemaluan bagian luar. Dalam menyumbat tidak cukup hanya menggunakan pembalut biasa tanpa menyumbatnya dengan sesuatu ke dalam kemaluan (kapas dll), karena pembalut yang ada hanya sekedar membalut dan tidak bisa menyumbat darah sampai pada batas dalam. Semua prosesi diatas dilakukan sebelum berwudlu, kemudian setelah itu langsung mengerjakan ibadah, dan tidak boleh berlama-lama, karena wudlunya orang yang Istihadlo adalah wudlu yang bersifat dhorurot. (Abi Suja’ Vol; 15)

Bab Darah Wanita

Jika ada seorang wanita mengeluarkan darah selama lebih dari 15 hari dan 15 malam, maka sebagaian darah dinamakan darah Istihadloh. Wanita yang mengeluarkan darah seperti ini ada tujuh macam:
1. Mustahadloh Mubtadi’ah Mumayyizah
Yaitu wanita yang baru pertama kalinya mengeluarkan darah Haidl dan darah tersebut keluar terus menerus sampai melebihi masa 15 hari/malam, serta dia dapat membedakan darahnya. Bila darahnya ada dua tingkatan, maka darah yang kuat disebut Haidl sedangkan yang lemah dinamakan Istihadloh, dengan syarat:
1. Darah kuat tidak kurang dari 24 jam (minimal Haidl).
2. Darah kuat tidak melebihi masa 15 hari/malam (maksimal Haidl).
3. Darah lemah tidak kurang 15 hari/malam, jika terletak di antara darah kuat.
4. Antara darah kuat dan lemah tidak silih berganti (selang-seling).
Contoh I:
Seorang wanita yang belum pernah Haidl mengeluarkan darah sebagai berikut:
1. Tanggal 1-7 (7 hari) mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
2. Tanggal 8-30 (23 hari) mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (lemah).
Yang dihukumi darah Haidl adalah darah yang kuat, yaitu tanggal 1-7. Sedangkan tanggal 8-30 disebut darah Istihadloh.
Contoh II:
Seorang wanita yang belum pernah Haidl mengeluarkan darah sebagai berikut:
1. Tanggal 1-15 (15 hari) mengeluarkan darah kuning, kental dan tidak berbau (lemah).
2. Tanggal 16-24 (9 hari) mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (kuat).
Yang dihukumi darah Haidl adalah darah yang kuat, yaitu tanggal 16-24. Sedangkan tanggal 1-15 disebut darah Istihadloh.
Namun jika tidak menetapi salah satu dari empat syarat di atas, maka yang dihukumi darah Haidl adalah hanya sehari semalam (sama dengan hukumnya Mustahadloh Mubtadi’ah Ghairu Mumayyizah).
Contoh I:
Seorang wanita yang belum pernah Haidl mengeluarkan darah sebagai berikut:
1. Tanggal 1 selama 10 jam mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
2. Tanggal 1 setelah 10 jam sampai tanggal 20 mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (lemah).
Contoh II:
Seorang wanita yang belum pernah Haidl mengeluarkan darah sebagai berikut:
1. Tanggal 1-16 (16 hari) mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
2. Tanggal 17-30 (14 hari) mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (lemah).
Contoh III:
Seorang wanita yang belum pernah Haidl mengeluarkan darah sebagai berikut:
1. Tanggal 1-10 (10 hari) mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
2. Tanggal 11-24 (14 hari) mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (lemah).
3. Tanggal 25-30 (6 hari) mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
Contoh IV:
Seorang wanita yang belum pernah Haidl mengeluarkan darah sebagai berikut:
1. Tanggal 1-7 mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
2. Tanggal 8-13 mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (lemah).
3. Tanggal 14-18 mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
4. Tanggal 19-23 mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (lemah).
5. Tanggal 24-28 mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
6. Tanggal 29-30 mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (lemah).
Keempat contoh di atas seluruhnya tidak menetapi syarat. Contoh yang pertama, darah kuat kurang dari 24 jam. Contoh yang kedua, darah kuat melebihi 15 hari. Contoh ketiga, darah yang lemah yang terletak di antara darah kuat kurang dari 15 hari. Contoh keempat, antara darah kuat dan lemah keluar secara selang-seling atau silih berganti. Maka secara keseluruhan, yang dihukumi Haidl dari keempat contoh tersebut adalah hanya sehari semalam, sedangkan sisanya dihukumi Istihadloh.
Darah Tiga Tingkatan
Apabila Mustahadloh Mubtadi’ah Mumayyizah mengeluarkan darah tiga tingkatan (kuat, lemah, dan lebih lemah), maka yang dihukumi Haidl adalah darah kuat dan lemah, sedangkan darah lebih lemah dinamakan Istihadloh, dengan syarat:
1. Darah kuat keluar terlebih dahulu.
2. Antara darah kuat dan lemah tidak terpisah oleh darah lebih lemah.
3. Jumlah antara darah kuat dan darah lemah tidak melebihi masa 15 hari/malam.
Contoh :
Seorang wanita yang belum pernah Haidl mengeluarkan darah sebagai berikut:
1. Tanggal 1-7 (7 hari) mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
2. Tanggal 8-14 (7 hari) mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (lemah).
3. Tanggal 15-25 (11 hari) mengeluarkan darah merah, cair dan tidak berbau (lebih lemah).
Yang dihukumi darah Haidl adalah darah yang kuat dan darah lemah, yaitu tanggal 1-14. Sedangkan tanggal 15-25 disebut darah Istihadloh.
Namun jika tidak menetapi salah satu dari tiga syarat di atas, maka yang dihukumi darah Haidl adalah hanya darah yang kuat, sedangkan darah lemah dan lebih lemah disebut darah Istihadloh.
Contoh I:
Seorang wanita yang belum pernah Haidl mengeluarkan darah sebagai berikut:
1. Tanggal 1-7 (7 hari) mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (lemah).
2. Tanggal 8-14 (7 hari) mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
3. Tanggal 15-20 (6 hari) mengeluarkan darah kuning, kental dan berbau (lebih lemah).
Contoh II:
Seorang wanita yang belum pernah Haidl mengeluarkan darah sebagai berikut:
1. Tanggal 1-8 (8 hari) mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
2. Tanggal 9-14 (7 hari) mengeluarkan darah kuning, kental dan berbau (lebih lemah).
3. Tanggal 15-23 (6 hari) mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (lemah).
Contoh III:
Seorang wanita yang belum pernah Haidl mengeluarkan darah sebagai berikut:
1. Tanggal 1-5 (5 hari) mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau (kuat).
2. Tanggal 6-16 (11 hari) mengeluarkan darah merah, kental dan berbau (lemah).
3. Tanggal 17-25 (9 hari) mengeluarkan darah kuning, kental dan berbau (lebih lemah).
Ketiga contoh di atas sama-sama tidak menetapi syarat. Contoh pertama, darah kuat tidak keluar pertama kali. Contoh kedua, antara darah kuat dan lemah dipisah darah lebih lemah. Contoh ketiga, jumlah darah kuat dan lemah melebihi 15 hari/malam. Maka secara keseluruhan dari ketiga contoh di atas yang dihukumi darah Haidl adalah darah yang kuat saja, sedangkan darah lemah dan lebih lemah dinamakan darah Istihadloh.
Mandi dan Qadla’ Shalat
Bagi Mustahadloh Mubtadi’ah Mumayyizah yang memenuhi syarat baik darahnya dua atau tiga tingkatan pada bulan pertama dia baru diwajibkan mandi jinabat setelah masa 15 hari/malam (terhitung mulai mengeluarkan darah), dan wajib mengqadla’ sholat yang ditinggalkan pada hari-hari yang dihukumi Istihadloh. Sedangkan pada bulan kedua dan seterusnya dia harus mandi ketika darah Haidl telah berubah menjadi darah Istihadloh. Baru diwajibkannya mandi pada tanggal 16 (bulan pertama) karena dimungkinkan darahnya berhenti sebelum 15 hari/malam, sebab jika demikian maka semua darah dihukumi darah Haidl. Ketentuan seperti ini tidak hanya berlaku bagi Mustahadloh Mubtadi’ah Mumayyizah saja tapi juga berlaku untuk yang lainnya.
Contoh:
Wanita yang belum pernah Haidl mengeluarkan darah sebagai berikut:
1. Bulan pertama, mengeluarkan darah kuat tanggal 1-10, lalu mengeluarkan darah lemah tanggal 11-30.
2. Bulan kedua, mengeluarkan darah kuat tanggal 1-10, lalu mengeluarkan darah lemah tanggal 11-30.
Pada bulan pertama, dia wajib mandi tanggal 16 lalu melakukan shalat dan puasa sebagaimana biasa, dan mengqadla’ shalat selama 5 hari (tanggal 11-15). Pada bulan kedua, dia wajib mandi tanggal 11 lalu melakukan shalat dan puasa sebagaimana biasa, dan dia tidak diwajibkan qadla’ shalat.
2. Mustahadloh Mubtadi’ah Ghairu Mumayyizah
Yaitu wanita yang baru pertama kali Haidl dan darah tersebut keluar terus menerus sampai melebihi masa 15 hari/malam, tapi dia tidak bisa membedakan darahnya (warna dan sifatnya sama) atau dapat membedakannya tapi tidak memenuhi syarat. Apabila wanita ini ingat waktu mulainya mengeluarkan darah, maka Haidlnya adalah sehari semalam, dan 29 hari setelahnya dihukumi suci atau Istihadloh (berlaku setiap bulan). Akan tetapi jika dia lupa waktu mulainya mengeluarkan darah, maka dia dihukumi Mustahadhoh Mutahayyiroh yang insya-Allah akan dijelaskan dengan detail pada saat pembahasannya nanti.
Contoh:
Seorang wanita yang baru pertama kali Haidl mengeluarkan darah yang tidak bisa dibedakan warna dan sifatnya selama 30 hari/malam. Yang dihukumi Haidl adalah tanggal 1 saja (sehari semalam), sedangkan sisanya (29 hari/malam) dinamakan darah Istihadloh. Namun wanita ini pada bulan pertama harus mandi pada tanggal 16 dan mengqadla’ shalat selama 14 hari. Adapun pada bulan kedua dan seterusnya dia wajib mandi pada tanggal 2 dan tidak mempunyai hutang shalat.
3. Mustahadloh Mu’tadah Mumayyizah
Yaitu wanita yang sudah pernah Haidl, lalu dia mengeluarkan darah terus menerus sampai melebihi 15 hari/malam dan dia bisa membedakan darahnya. Hukum Mustahadloh Mu’tadah Mumayyizah itu sama dengan Mustahadloh Mubtadi’ah Mumayyizah, yaitu yang dinamakan Haidl adalah darah kuat meskipun tidak sama jumlahnya dengan kebiasaannya (‘adah), kecuali jika memang antara kebiasaan dan darah kuat itu terdapat jarak minimal 15 hari/malam, maka darah lemah sejumlah kebiasaan Haidl dinamakan darah Haidl, dan darah kuat juga disebut Haidl.
Contoh 1:
Seorang wanita yang mempunyai kebiasaan haidl 5 hari/malam mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau mulai tanggal 1-10 (10 hari), lalu setelahnya mengeluarkan darah merah, kental dan berbau dari tanggal 11-30. Pada bulan berikutnya dia juga mengeluarkan darah yang sama. Yang dinamakan Haidl adalah darah yang kuat (tanggal 1-10), sedangkan tanggal 11-30 disebut Istihadloh. Wanita ini pada bulan pertama baru diwajibkan mandi pada tanggal 16 dan wajib pula mengqadla shalat selama 5 hari. Pada bulan kedua dia mandi pada tanggal 11 dan dia tidak mempunyai hutang
shalat sama sekali.
Contoh 2:
Seorang wanita yang mempunyai kebiasaan haidl 5 hari/malam mengeluarkan darah merah, kental dan berbau mulai tanggal 1-20 (20 hari), lalu setelahnya mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau dari tanggal 21-25, kamudian mengeluarkan darah merah, kental dan berbau dari tanggal 26-30. Pada bulan berikutnya dia juga mengeluarkan darah yang sama. Yang dinamakan Haidl adalah darah lemah (tanggal 1-5) yang sesuai dengan jumlah kebiasaan, dan darah yang kuat (tanggal 21-25), sedangkan tanggal 6-20 dan 26-30 disebut Istihadloh. Wanita ini pada bulan pertama baru diwajibkan mandi pada tanggal 16 dan wajib pula mengqadla shalat selama 10 hari, dan mandi lagi tanggal 26. Pada bulan kedua dia mandi pada tanggal 6 dan tanggal 26, serta dia tidak mempunyai hutang shalat sama sekali.
Adapun Mustahadloh Mu’tadah Mumayyizah yang tidak memenuhi syarat sebagaimana syarat-syaratnya Mustahadloh Mubtadi’ah Mumayyizah yang dijelaskan di atas, maka dia dihukumi seperti halnya Mu’tadah Ghairu Mumayyizah, yaitu yang dihukumi Haidl adalah darah yang sesuai dengan jumlah kebiasaannya.
Contoh:
Seorang wanita yang mempunyai kebiasaan haidl 5 hari/malam mengeluarkan darah hitam, kental dan berbau mulai tanggal 1-20 (20 hari), lalu setelahnya mengeluarkan darah merah, kental dan berbau dari tanggal 21-30. Pada bulan berikutnya dia juga mengeluarkan darah yang sama. Yang dinamakan Haidl adalah darah yang keluar pada tanggal 1-5 sesuai dengan kebiasaannya. Sedangkan tanggal 6-30 disebut Istihadloh. Wanita ini pada bulan pertama baru diwajibkan mandi pada tanggal 16 dan wajib pula mengqadla shalat selama 10 hari. Pada bulan kedua dia mandi pada tanggal 6 dan dia tidak mempunyai hutang shalat sama sekali. (Sef.).

Pengertian Najis

Najis terbagi 3 yaitu:
1. Najis mugholadoh
2. Najis mukhofafah
3. Najis mutawasitoh

Najis mugholadoh yaitu najis berat yang berasal dari ANJING dan BABI serta keturunan anjing dan babi

Cara membersihkannya yaitu dengan mencuci najis tersebut dengan air sebanyak 7 kali dan salah satunya harus di campur dengan tanah.

Najis mukhofafah yaitu najis ringan berasal dari air kencing anak laki2 yang belum berumur 2 tahun dan belum di beri makan apapun selain Air Susu Ibu.

Cara membersihkannya cukup di siram dengan air setelah menghilang a'innya.

Najis mutawasitoh yaitu najis pertengahan yang merupakan sisa najis contohnya kotoran hewan, kotoran manusia, darah dan nanah.

Najis mutawasitoh ini terbagi ke dalam dua bagian :
Yang pertama najis a'iniah yaitu najis yang ada wujudnya contohnya kotoran hewan, manusia dsb.
Cara membersihkannya dengan cara menghilangkan a'innya(bendanya) sampai hilang bau, warna, dan rasanya.

Yang keadua najis hukmiah yaitu najis yang tidak terlihat. Contohnya air seni (air kencing)yang sudah mengering.

Cara membersihkannya dengan membasuh tempat tersebut dengan air secukupnya.

Tayamum

Sebab-sebab Tayamum
Ada 3 hal
1. Tidak adanya air
2. Sakit
3. Karena ada hayawan(makhluk hidup yg d mulyakan syara) yang memerlukan air(kehausan)
Hayawan yang tidak di mulyakan oleh syara ada 6
1. Orang yang tinggal sholat
2. Orang yang berzina muhson
3. Orang murtad
4. Orang kafir yang memusuhi orang islam
5. Anjing galak
6. Babi
Jadi, apabila menemukan yang 6 tadi jika mereka kehausan jangan di beri air pakailah untuk berwudlu.

Syarat-syarat Tayamum
Ada 10
1. Harus memakai tanah
2. Tanahnya harus suci
3. Tanahnya masih baru (jangan yang sudah di pakai)
4. Tanahnya jangan tercampur dengan tepung dan sejenisny
5. Harus bermaksud untuk tayamum
6. Harus mengusap tanah pada wajah dan kedua tangannya dengan 2 usapan
7. Menghilangkan najis sebelum tayamum
8. Menghadap kiblat sebelum tayamum
9. Bertayamum sesudah masuk waktu sholat
10. Bertayamum pada tiap waktu sholat fardu

Fardu-fardu Tayamum
Ada 5
1. Mengambil tanah
2. Niat
3. Mengusap wajah
4. Mengusap kedua tangan sampai sikut
5. Tartib antara 2 usapan

Yang Membatalkan Tayamum
Ada 3
1. Perkara yang membatalkan wudlu
2. Murtad
3. Menemukan air karna bertayamum itu tidak ada air

Mandi Besar

YANG MEWAJIBKAN JUNUB (Mandi Besar)
ada 6
1. berjima (kumpul suami istri)
2. mimpi jima keluar air mani(mimpi basah)
3. haid ( mentruasi) adalah darah sehat yang keluar setiap bulan (datang bulan)
4. nifas ( darah yang keluar setelah melahirkan)
5. melahirkan
6. meninggal dunia

Fardu junub (wajib mandi besar) 
ada 2
1. niat
2. membasuh air ke seluruh tubuh.

Sunah-sunah mandi besar
ada 5
1. membaca bismillah
2. berwudlu
3. mencuci tangan
4. berturut-turut
5. mendahulukan anggota badan yang kanan kemudian anggota badan yang kiri.

Orang yang tidak mempunyai wudlu, haram 4 perkara
1. haram sholat
2. haram thowaf
3. haram memegang Al-Qur'an
4. haram membawa Al-Qur'an

Orang yang mempunyai hadas besar, haram 6 perkara
1. haram sholat
2. haram thowaf
3. haram memegang Al-Qur'an
4. haram membawa Al-Qur'an
5. haram masuk ke merjid
6. haram membaca Al-Qur'an

Orang yang sedang haid ( datang bulan), haram 10 perkara
1. haram sholat
2. haram thowaf
3. haram memegang Al-Qur'an
4. haram membawa Al-Qur'an
5. haram masuk ke merjid
6. haram membaca Al-Qur'an
7. haram puasa
8. haram di thalaq (di cerai)
9. haram  di dalam masjid
10. haram berjima (melakukan hubungan suami istri) kecuali dari pusar ke atas

Pengertian wudlu

>Fardu wudlu (wajib Wudlu)
ada 6 :
1. Niat
2. Membasuh muka yg namanya muka dari atas tumbuhnya rambut,dari samping pentil telinga,dari bawah sampai dagu.
3. Membasuh tangan dua-duanya sampai sikunya.
4. Mengusap kulit kepala atau satu lembar rambut yang belum keluar dari hadnya(batasnya) kepala.
5. Membasuh kaki dua-duanya sampai mata kaki.
6. Tartib.

Niat adalah bermaksud melaksanakan suatu perkara sembari (serta) melakukanya.Tempatnya niat adalah hati sedangkan mengucapkanya adalah sunat. Waktunya niat adalah ketika membasuh salah satu anggota muka(ketika air mengenai muka).
Tartib adalah mendahulukan anggota wudlu yang pertama dan berurutan. contohnya niat sebelum membasuh muka.

YANG MEMBATALKAN WUDLU
ada 4 yaitu :
1. Ada yang keluar dari kubul (lubang kencing) dan dubur (anus) contohnya angin (kentut) atau selain angin (darah).
2. Hilang akal contohnya tidur atau pingsan. Tapi tidak batal orang yang tidur sambil duduk yang pinggulnya tetap nempel d lantai.
3. bersentuhan kulit kaki-laki dengan perempuan tanpa ada penghalang. Yang mana mereka berdua sudah baligh.
4. Memegang kepunyaan anak adam (kita sendiri) dengan telapak tangan atau telapak jari tangan.


>>AIR
Air terbagi 2 yaitu :
1. Air sedikit yaitu air yang kurang dari 2 kulak. Hukumnya apabila ketibanan najis airnya jadi mutanajis sehingga tidak dapat di pake bersuci (wudlu,adus,dll) meskipun tidak merubah warna, rasa, dan baunya.
2. Air besar yaitu air yang ada 2 kulak atau lebih. Hukumnya tidak jadi mutanajis sehingga sah dipakai bersuci (wudlu,adus,dll) kecuali berubah warna,rasa,dan baunya.

Ngaji Pemula

RUKUN ISLAM
ada 5 :
1. Sahadat
2. Sholat
3. Zakat
4. Puasa
5. Pergi Haji


RUKUN IMAN
ada 6 :
1. Iman Kepada Alloh
2. Iman Kepada Malikat
3. Iman Kepada Kitab-Kitab Alloh
4. Iman Kepada Rosul-Rosul Alloh
5. Iman Kepada Hari Kiamat
6. Iman Kepada Qodo dan Qodar

CIRI-CIRI BALIGH
ada 3 :
1.Sempurna umur 15 tahun, laki-laki dan perempuan
2.Mimpi Jima (mimpi basah), laki-laki dan perempuan
3.Haid, perempuan (sudah berumur 9 tahun)

SYARAT-
SYARAT BERSUCI DENGAN BATU
ada 8 :
1. Harus dengan 3 batu /bersudu 3
2.Harus bersih tempatnya
3. Jangan kering najisnya
4. Jangan berpindah si najis
5. Jangan datang najis lain
6. Jangan lewat si najis ke kepala zakar dan ke lepat lepit duburnya
7. Jangan bercampur dengan air,dan
8. harus batu yg suci

SYARAT2 BERWUDLU
ada 8,untuk orang yg langgeng hadas ada 10
1. Islam
2. Tamyiz (pintar)
3. Bersih dari haid dan nipas
4. Bersih dari barang yg bìsa menghalangi datangnya air pada kulit seperti lem, minyak,dll.
5. Jangan ada benda yang menempel pada kulit yang bisa merubah air. seperti
6. Tau fardunya wudlu
7. Jangan bertekad fardu itu sunat.
8. Airnya suci
9. Masuk waktu sholat
10. Berturut-turut dalam membersihkan anggota wudlu (tartib).

Gelisah Hati

Setiap manusia menginginkan ketenangan jiwa. Berbagai cara mereka lakukan. Ada yang berusaha meraihnya dengan menumpuk-numpuk harta. Tapi setelah harta menumpuk, ternyata ketenangan itu tak kunjung datang. Malah sebaliknya, uang yang disimpan ternyata membuatnya serba khawatir. Khawatir banknya bangkrut, atau dirampok, dan lain sebagainya. Semakin banyak harta, justru semakin membuatnya gelisah.
Hasil penelitian ilmiah membuktikan, bahwa penyakit yang justru sering dialami masyarakat yang hidup di negara-negara kaya adalah depresi dan kegelisahan. Ed. Diener, psikolog dari University of Illions, pernah meneliti 100 orang Amerika terkaya. Ditemukan, mereka sebagian besar menderita secara kejiwaan. Kegelisahan selalu menjadi ancaman setiap saat.
Ada juga sebagian orang berusaha meraih ketenangan jiwa di balik karir atau jabatan yang gemilang. Kerja keras pun mereka lakukan dengan segala cara. Karena mereka yakin, bila sukses tercapai, mareka akan dipuja-puja dan banyak dikenal orang dan akan banyak kawan. Dalam persepsi mereka, popularitas karir atau jabatan adalah suatu keniscayaan untuk membuatnya bahagia.
Tapi kenyataan tak semudah yang mereka bayangkan. Dr. Paul Pearsall dalam penelitiannya bertahun-tahun menemukan, banyak orang justru menderita setelah mereka sukses. Dalam sebuah karyanya, cerpenis Sapardi Joko Damono, pernah melukiskan wajah sebuah rumah tangga modern yang bisa dikatakan sukses secara karir. Ia menuliskan: Seorang suami berkata, ”Saya melihat rumah tangga saya bisa dikatakan sukses secara ekonomi. Saya seorang pegawai negeri. Istri saya pengusaha. Ia sangat sibuk, sampai tak sempat memperhatikan saya. Akhirnya saya selalu tersinggung. Lalu saya pendam keinginan untuk membunuhnya. Biar ia mati di tangan saya, dan saya dijatuhi hukuman mati pula.”
Lain lagi, ada sebagian orang berusaha menghabiskan waktu di balik rumah-rumah megah atau vila-vila yang indah, untuk meraih ketenangan jiwa. Rutinitas mereka berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain, mencari pantai-pantai yang mempesona. Di sana mereka lepaskan kegelisahan sambil memandang luasnya lautan dan langit yang tak bertepi.
Tapi, ternyata usaha ini juga tak mampu menyelesaikan masalah. Banyak orang yang tak bisa bertahan lama dalam kehidupan yang monoton seperti itu. Mereka ingin mencari tantangan. Sementara suasana yang mapan cendrung hanya memberikan rasa istirahat sejenak, setelah itu jenuh datang kembali.
Pernah saya tawarkan kepada beberapa orang yang biasa merasakan hiruk pikuk kota Jakarta. Siapa yang mau digaji secara cukup, kerjanya hanya makan dan tidur di villa megah di kawasan Puncak? Semua menjawab, “Tidak mau!” Ini menunjukkan, bahwa secara fitrah manusia mudah merasa jenuh dan bosan bila tak mempunyai aktivitas.
Sebuah kasus pernah terjadi seorang lelaki baya yang hampir pensiun. Dan ini bisa juga menimpa Anda yang mempunyai persepsi serupa. Lelaki itu berkata, “Setelah aku pensiun nanti, aku mau istirahat. Pagi-pagi aku bangun, minum kopi, baca koran, nonton TV dan lain sebagainya. Siang hari aku istirahat. Sore hari aku nonton TV lagi sambil tidur-tiduran, lalu istirahat.”
Bayangan itu ia ciptakan sebagai kompensasai rasa lelahnya yang selama ini telah bekerja setiap hari, dari pagi hingga sore. Namun setelah pensiunan, ternyata ia malah sering jenuh dengan suasana yang monoton. Ia merasa harus segera mencari kegiatan lain. Terbukti, di masyarakat kita, kini tak sedikit para pensiunan yang bekerja lagi, mengisi hari tua mereka.
Ini menunjukkan, manusia selalu membayangkan ingin mendapatkan ketenangan hakiki. Tapi bayangan ketanangan itu seringkali lebih berupa kesenangan duniawi. Akibatnya, hampir setiap kesenangan yang mereka bayangkan tak sesuai dengan harapan mereka.
Sementara, ada sebagian orang berusaha meraih ketenangan jiwa dengan cara menyibukkan diri. Bila sedikit ada waktu kosong selepas kerja rutin di kantor, ia segera mencari kegiatan lain. Entah main golf, footsal, atau lainnya. Tapi ini juga tak selamanya menjadi solusi. Sebab, dengan terus bekerja, seseorang telah menjadikan tubuhnya sama dengan mesin. Lama kelamaan ia akan melemah dan loyo.
Karena itu, banyak sekali kasus bunuh diri terjadi di Jepang, karena alasan ketercekaman jiwa. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, angka bunuh diri di Jepang setiap tahun mencapai sedikitnya 30.000 jiwa. Bahkan, karena terlalu banyaknnya kasus bunuh diri yang dilakukan manusia modern, di banyak situs internet, bisa kita temukan ada yang mengajarkan cara melakukan bunuh diri dengan cepat.
Kebutuhan Jiwa
Gambaran ringkas di atas, tersimpulkan bahwa untuk mengurus jiwa, kita tak bisa melakukannya dengan sederhana. Yang perlu diingat, jiwa kita ini ada yang menciptakannya. Maka tak mungkin kita isi jiwa kita seenak nafsu. Kita harus belajar kepada Sang Pencipta. Upaya apapun untuk mengisi jiwa, jika tak sejalan dengan tuntunan sang Pencipta, manusia pasti akan menderita.
Dalam urusan sederhana seja, sebut misalnya, kita membeli mobil. Kita tentunya butuh buku panduan (guide) cara menjalankan kendaraan itu dengan baik. Sangat tidak mungkin jika buku panduan itu kita ambil dari pabrik mobil berbeda. Begitu pula dengan jiwa. Sangat tak mungkin kita memberi kebutuhan jiwa kita seenak hati.
Untuk itu, Allah SWT Sang Pencipta telah menurunkan buku bimbingan, yaitu al-Qur`an. Tak cukup dengan Kitab itu, Allah utus pula seorang Rasul atau Nabi sebagai instruktur dan panutan bagaimana seharunya melaksanakan kandungan buku suci tersebut.
Itulah makna ayat dalam surah ’Abasa [80] ayat 20, “Kemudian Dia memudahkan jalannya.” Para ulama tafsir menilai, maksud ”mempermudah jalan” adalah bahwa Allah tak hanya menyediakan segala kebutuhan fisik manusia. Baik berupa air, udara, maupun makanan, tapi lebih dari itu, Allah telah sediakan kebutuhan jiwa mereka. Diutusnya para Nabi dan Rasul adalah untuk mengajarkan cara memberi makan kepada jiwa.
Sebab, kebutuhan jiwa tak bisa dibuat sesuka hati. Kebutuhan jiwa harus diperoleh secara talaqqî dari Sang Pencipta. Maka, tak ada pilihan bagi manusia mengisi kebutuhan jiwanya, kecuali harus ikut apa kata Sang Pencita secara harfiah. Jangan diubah-ubah, ditambah-tambahi, atau dikurangi. Nabi SAW menegaskan, “Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan agama (ibadah) dan tak mempunyai dasar hukum, maka ia ditolak.” (HR. Bukhari Muslim)
Begitulah tegasnya Islam dalam urusan menjaga jiwa. Sebab, jiwa adalah inti manusia. Dan manusia hanya menjadi rangka mati tanpa jiwa. Karena itu, mengurus jiwa harus dilakukan sungguh-sungguh dan serius. Lebih dari itu, lakukan langkah-langkah efektif dengan mengikuti tuntunan Allah.
Perlu diingat, makanan jiwa bukanlah materi. Sebab jiwa bersifat spritual, dan ia butuh makanan yang spritual pula. Untuk mendapatkan hakikat spritual, manusia tak bisa mereka-reka dengan otaknya yang sangat terbatas dan serba relatif. Tapi harus kembali kepada Sang Pencipta Yang Maha Benar.
Mereka-reka kebutuhan jiwa, akan membuat manusia terjebak dalam kelelehan tanpa akhir. Akibatnya, ia akan putus asa. Itulah sebab utama mengapa manusia modern banyak yang melakukan bunuh diri.
Dzikirullah
Tak mungkin manusia menipu jiwanya. Silahkan cari cara-cara untuk menghindar dari kebutuhan jiwa yang hakiki. Pasti, jiwa akan meronta-ronta. Jiwa tak membutuhkan apa-apa, selain ibadah. Dan inti setiap ibadah adalah dzikrullah.
Karenanya, ketika menjelaskan rahasia shalat, Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tiada Tuhan (yang haq) selain Aku. Maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Qs. Thâha [20]: 14)
Mengapa shalat disyariatkan untuk mengingat Allah? Imam Ibn Asyur dalam tafsirnya menjawab, sebab dengan shalat seseorang akan menyadari hakikat kehambaannya di depan Sang Pencipta. Kesadaran semacam ini, dalam istilah hadits Nabi SAW disebut sebagai ihsân. “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan melaihat-Nya. Bila tak melihat-Nya, sadari bahwa Dia melihatmu.
Dalam surah al-Mu’minûn [23] ayat 2, disebutkan ciri seorang mukmin hakiki. Di antaranya, menegakkan shalat dengan khusyu’. Terlihat, shalat bukan semata dikerjakan oleh fisik, tapi harus juga melibatkan jiwa, agar khusyu’.
Ibn Taimiah dalam Majmu’ al-Fatâwa menjelaskan, tanpa khusyu’, shalat akan kehilangan kualitasnya. Karena itu, Ibn Taimiah menilai, khusyu’ merupakan syarat diterimanya shalat. Alasannya, Allah telah menjelaskan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, seorang mukmin harus mengerjakan shalat dengan khusyu’. Artinya, bila shalatnya tidak khusyu’, maka kebahagiaan tak akan dicapai.
Itulah rahasia mengapa dalam surah al-Mâ’ûn [107] ayat 4 Allah berfirman, “Maka celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya.” Dari sini terjawab, mengapa banyak orang shalat tapi masih saja berbuat maksiat. Itu karena shalatnya baru fisik, sementara jiwanya kosong.
Jelas, jiwa membutuhkan ibadah. Dan hakikat ibadah adalah dzikrullâh. Bila seorang muslim menegakkan ibadah dengan sungguh-sungguh, penuh penjiwaan, dan khusyu’, maka ia akan mencapai ketenangan. Inilah makna ayat, “Ingatlah, bahwa hanya dengan dzikrullah hati akan tenang.” (Qs. ar-Ra’d [13]: 28)
Dalam surah Thâha [20] ayat 124, Allah berfirman, “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Jelaslah sudah, betapa dzikrullâh merupakah jalan satu-satunya menuju ketenangan jiwa. Bila ketenangan dicapai, maka ia akan terjaga dari dosa-dosa. Inilah makna firman Allah, “Sesungguhnya shalat pasti mencegah dari perbuatan keji dan munkar.Wallâhu a’lam bish-shawâb.

Wasiat Nabi Ke III

Berikut ini adalah Trilogi Ketiga (Bagian Terakhir) dari Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang diwasiatkannya kepada kita umat Islam :
1. “Diam” untuk Berpikir
Dalam keseharian, ada 2 kegiatan yang saling bertolak belakang ; “diam” dan “bicara”. Kalau tidak diam, pasti bicara, kalau tidak bicara, kita pasti diam. Pada kenyataannya, sering kali kita tidak tahu (atau tidak mau tahu (?) bagaimana kita bersikap ketika berbicara dan apa yang mesti kita lakukan ketika diam. Dalam hadits ini Allah SWT memberi wasiat kepada kita melalui RasulNya SAW tentang hal ini, yaitu ketika “diam”, kita harus “berpikir” dan ketika “berbicara”, kita harus “berdzikir”
Berpikir tentu saja tidak sama dengan ngelamun, berkhayal tentang hal-hal yang negatif, atau lain-lainnya yang berbahaya. Berpikir, menurut istilah psikologi, adalah salah satu aktivitas jiwa yang melahirkan pengertian (komprehensi), pendapat (opini) dan kesimpulan (konklusi) tentang hal-hal yang positif dan gagasan-gagasan yang bermanfaat untuk diri sendiri atau orang lain.
Islam adalah agama yang sangat mengutamakan kegiatan berpikir, Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW yang menyuruh kita untuk berpikir. Perintah pertama dalam Al-Quran “Iqro’” dan ayat-ayat lain yang berupa perintah untuk berpikir atau berupa pertanyaan-pertanyaan retoris lainnya, tidak bisa dilepaskan dari konotasi berpikir ini. Demikian juga dalam hadits, Rasulullah SAW menegaskan Ad-Din huwa al-‘Aql. La dina liman la ‘aqla lahu (Agama itu adalah akal (berpikir). Tidak dianggap sempurna agama bagi orang yang tidak (mau) berpikir). Bahkan dalam hadits lain (aw kama qila), Rasululullah SAW menegaskan : At-Tafakkur sa’atan khoirun minal Ibadah sanatan (Berpikir satu jam lebih baik dari pada ibadah (tanpa berpikir) satu tahun. Subhanallah. Begitu tingginya nilai berpikir dalam Islam. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa : “Umat Islam mundur karena mereka malas berpikir”. Dan itu semua hanya bisa dilakukan dengan penuh konsentrasi, apabila kita sedang diam. Ash-Shomtu hikmatun wa qolilun fa’iluhu. (Diam itu penu hikmah, tapi sedikit yang bisa melakukannya)
2. “Bicara” untuk Berdzikir
Dalam berbicara, seringkali justru kita berdosa, karena tidak bisa mengendalikan diri atau berbohong. Paling tidak, ada 4 dosa yang bisa muncul akibat bicara yang tidak terkendali. (1). Ghibah (ngerasani) yaitu berbicara tentang kejelekan orang lain di belakangnya, walaupun memang benar dan apa adanya (2). Syatm atau mencaci orang lain dengan kata-kata kotor (3) Buhtan yaitu berbicara tentang hal-hal yang tidak benar/dusta (4). Fitnah, yaitu menyebarkan ke tengah-tengah halayak tentang sesuatu yang tidak benar/dusta, baik menyangkut seseorang ataupun sekelompok orang.
Karena itu, kita diperintahkan agar dalam berbicara apapun kita selalu berdzikir. Seperti kita ketahui ada 3 jenis Dzikrullah, yaitu dzikir dengan hati (Dzikrul Qolb), dengan lisan (Dzikrul Lisan), dan dengan perbuatan (Dzikrul Jawarih). Berdzikir ketika berbicara ini termasuk Dzikrul Lisan, artinya kita harus berusaha untuk tidak melanggar nilai-nilai akidah, syariat, dan akhlaq, ketika kita berbicara tentang apa saja, dimana, kapan, dan dalam situasi apa saja. sehingga tidak sampai melakukan 4 jenis dosa di atas. Kalau tidak, lebih baik kita diam saja. Tentu saja, diam untuk berpikir. Sabda Rasul SAW : Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaknya ia bicara yang baik atau diam saja. (Man kana yu’minu billahi wal-yaumil akhir, falyaqul khoiron aw li yashmut)
3. “Melihat” untuk Mengambil I’tibar.
Ketika kita melihat (atau setidaknya mendengar) kejadian atau peristiwa apapun yang terjadi di sekitar kita atau di tempat-tempat yang jauh, kita diperintahkan untuk bisa mengambil “i’tibar” (hikmah dan pelajaran) darinya. Peristiwa-peristiwa tersebut bemacam-macam, ada yang berupa fenomena alam atau fenomena sosial, fenomena politik, ekonomi, budaya, dll. Ada peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan bahkan mengenaskan, ada yang berupa kejadian yang mendadak atau yang memang merupakan akumulasi dari sebuah proses rekayasa yang panjang, dll. Peristiwa-peristiwa tersebut pada hakekatnya merupakan salah satu dari tanda-tanda keagungan Allah SWT, untuk menguji kita, apakah kita bersyukur atau kufur.
Kemampuan mengambil i’tibar ini tentu saja pertama kali harus dimulai dengan “dzikirullah”, baru dilanjutkan dengan “berpikir” tentang fenomena-fenomena tersebut (baik yang bersifat substantif, proses, atau instrumentatif), serta dampak-dampak yang muncul di balik fenomena tersebut. Kemudian kita akhiri dengan “pengakuan” bahwa semuanya ini tidaklah diciptakan dengan sia-sia (bathil), dan kita “bertasbih” serta mohon “perlindungan” dari siksa api neraka (Robbana ma kholaqta hadza bathilan. Subhanaka. Faqina ‘adzaban-nar)
IKHTITAM
Demikianlah, lengkap sudah Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang kemudian diwasiatkannya kepada kita. Tentu saja, sebagai umatnya, kita harus berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang mendapatkan 3 amanat paling utama dari Allah SWT, yaitru amanat ilmu bagi para “Ulama’”, amanat kekuasaan bagi para “Umaro’”, dan amanat harta benda bagi para “Aghniya’”. Semoga untuk itu semua, kita selalu nemperoleh taufiq dan hidayah, ma’unah dan inayah serta rahmah dan barokah dari Allah SWT. Amien.

Wasiat Nabi Ke II

Kalau pada edisi yang lalu, kita telah menguraikan Bagian I (Trilogi Pertama) dari Sembilan Wasiat Nabi SAW, yaitu agar kita bersikap “ikhlas” baik secara sembunyi–sembunyi atau terang-terangan, bersikap “adil” ketika marah atau ketika rela, dan bersikap “sederhana” dalam keadaan kaya atau miskin, maka dalam edisi kali ini akan kita lanjutan pada uraian selanjutnya, yaitu Bagian II (Trilogi Kedua) dari Sembilan Wasiat tersebut. yaitu:
1. Agar memaafkan orang yang mendholimi kita.
Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering kali didholimi (diperlakukan tidak adil atau tidak proporsional) oleh orang-orang lain di sekitar kita, baik langsung maupun tidak langsung, secara fisik atau non-fisik, material atau immaterial, oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya dari kita, seperti para pejabat, penguasa, bos atau orang kaya, atau oleh orang yang sederajat dengan kita, seperti teman sekantor, seprofesi atau teman seorganisasi dll, atau bahkan oleh orang yang lebih rendah kedudukannya dari kita, seperti anak kandung, anak buah. anak didik, dan lain-lainnya. Allah SWT lewat RasulNya SAW memerintahkan kita untuk memaafkan orang-orang tersebut.
2. Agar memberi kepada orang yang mencekal kita.
Sesuai dengan sunnatullah yang berlaku untuk makhlukNya, selain kewajiban yang harus dijalankan, kita juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi. Tapi kenyataannya, seringkali hak-hak tersebut tidak dipenuhi, dicekal, dirampas atau dikebiri oleh orang-orang lain di sekitar kita. Hak-hak tersebut bermacam-macam ; kadang berupa harta, pangkat atau jabatan, tapi juga bisa berupa pelayanan atau pemberian kesempatan. Perampasan atau pengebirian ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kita, baik lebih tinggi secara material ataupun lebih tinggi dalam status sosial dan hirarki organisatoris. Dalam konteks ini, kita diperintahkan oleh Allah SWT lewat RasulNya SAW untuk tetap memberi atau memenuhi hak-hak mereka, siapapun mereka dan apapun motif mereka mencekal kita.
3. Agar menyambung kembali tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya.
Memutuskan tali silaturrahim biasanya dilakukan seseorang, karena adanya alasan-alasan tertentu atau bahkan tanpa alasan apapun. Alasan-alasan itupun bermacam-macm : ada yang jelas dan disengaja tapi ada juga yang sama sekali tidak diketahui dan tidak disengaja, ada yang menyangkut urusan ekonomi, jabatan, pengaruh dan politik. Ini sering terjadi dalam pergaulan hidup sehari-hari, tidak saja antar teman sejawat, bahkan juga sering terjadi antar orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan.
Dalam konteks ini, kita diperintahkan Allah dan RasulNya agar terus berusaha untuk menyambung kembali tali silaturrahim tersebut.
Amma Ba’du….
Ketiga sikap tersebut (memaafkan orang yang mendholimi. memberi orang yang mencekal dan menyambung tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya) rasa-rasaya “sangat pas dan cocok” untuk para pemimpin atau calon-calon pemimpin kita–formal, nonformal atau informal- terutama pada saat persaingan antar kepentingan yang sangat ketat dan keras (kunkurensi) seperti sekarang ini. Memang sangat sulit ! Apalagi terhadap orang-orang yang memang jelas-jelas –atau kita anggap- “bersalah” kepada kita atau kepada orang yang kita anggap sebagai “musuh dan saingan” kita –terang-terangan atau dalam selimut-. Sungguh sangat sulit untuk dilaksanakan, bukan? Tapi kita harus sadar bahwa semua itu bukan hal yang mustahil atau tidak mungkin, sebab Allah dan RasulNya tidak akan menyuruh kita untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan. “La yujakalliful Lah nafsan illa wus’aha” kata Allah.
Terus bagaimana caranya, agar kita mampu melaksanakan ketiga Wasiat Nabi SAW ini? Paling tidak, ada 5 langkah yang harus kita coba laksanakan dengan sungguh-sungguh dan istiqamah : Pertama, “Dzikrullah” Kita harus memulai upaya ini dengan mengingat dan menyebut asma Allah, agar Allah selalu mengingat kita. Kalau sudah begitu, pasti. kita akan selalu mendapat pertolongan, perlindungan dan pembelaan dari Allah. Firman Allah : “Fadzkuruni adzkurkum”. Kedua, “Haqqul Yaqin”. Kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa ini adalah wasiat Allah dan RasulNya untuk kebaikan kita sendiri dan kita harus yakin bahwa kita pasti bisa melakukannya dengan taufiq dan ma’unah Allah. Kalau tidak yakin, kita tidak akan pernah bisa. “Man la ya’taqid la yantafi’”. Ketiga, “Husnudhdhon”. Kita harus selalu berbaik sangka terhadap siapapun bahkan terhadap orang yang berbuat jahat kepada kita. Umpamanya, ketika didholimi, dicekal atau diputus tali silaturrohim, kita anggap saja mereka berbuat begitu, karena ketidaktahuan mereka terhadap diri dan kondisi kita yang sebenarnya. Keempat, “Muhasabah” (introspeksi). Kita harus selalu bertanya kepada diri sendiri dan menjawabnya dengan jujur, bahwa mereka melakukan hal–hal tersebut, mungkin karena memang bersumber dari kesalahan atau kelemahan kita, bukan semata-mata karena kejahatan dan keburukan mereka. Kelima. “Dzikrullah” Kita akhiri semua usaha ini dengan mengingat Allah kembali, dengan tasbih, tahmid, tamjid dan istighfar, dan lain-lainnya.. “Subahanakal Lahumma wa bihamdiKa. Asyhadu an la ilaha illa Anta, AstadghfiruKa wa atubu ilaiKa. SubahanaKa fa qina ‘adzaban nar”. Nah, Selamat Mencoba dan Memperhatikan kelima langkah ini. “Jarrib wa lahidh takun ‘arifan.
Akhirnya…, perlu disadari bahwa semua sikap terhadap berbagai kedholiman dan ketidakadilan seperti yang disebutkan tadi, hanyalah apabila hal itu menyangkut hak-hak dan kepentingan pribadi atau kelompok. Tapi apabila kedholiman dan ketidakadilan tersebut sudah menyangkut prinsip-prinsip agama atau kehormatan bangsa, tentu saja sikap kita harus berbeda. “Janganlah kita marah atau tersinggung, hanya karena urusan pribadi atau kelompok. Tapi marahlah dan tersinggunglah karena Allah, demi Allah dan untuk Allah semata.”. Wallahu A’lam wa Ahkam.

Wasiat Nabi Ke I

Dalam Kitab “Misykat al-Mashobih” lit-Tibriziy, Kitab “Al-‘Aqd al-Farid” lil Andalusy, Kitab “Al-Bayan wa at-Tabyin” lil Jaahidh, dan Kitab “Bahjah al-Majalis” li Ibni Abdil Bar disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Tuhanku telah berwasiat kepadaku dengan 9 perkara, dan aku wasiatkan kepada kalian (untuk melaksanakannya) : Tuhanku berwasiat (1). agar aku berlaku “ikhlas’ baik secara tersembunyi atau terang-terangan, (2). agar bersikap “adil” baik pada saat ridho atau marah (3) agar bersikap “sederhana” baik dalam keadaan kaya atau miskin (4) agar aku “memaafkan” orang yang dholim kepadaku, (5) agar aku “memberi” kepada orang yang mencekalku (6) agar aku “menyambung silaturrahim” dengan orang yang memutuskannya (7) agar aku menjadikan “diam”ku untuk berpikir (8) agar menjadikan “bicara”ku sebagai dzikir (9). dan agar menjadikan “pandangan” ku untuk mengambil i’tibar. (HR. Razin)
Sembilan Wasiat (Nine Commandments) yang disampaikan Allah kepada RasulNya dan beliau sampaikan kepada umatnya ini, sungguh merupakan pedoman dan tuntunan hidup kita dalam segala aspek kehidupan. Kalau kita mampu mengimplemetasi kannya dalam keseharian kita, sesuai kemampuan kita, insya Allah kita akan menjadi manusia yang “baik” di sisi Allah dan “terhormat” di mata makhluqNya. Kemudian mengingat terbatasnya ruang yang tersedia, dan mencermati kandungan isinya sekaligus untuk memudahkan ingatan, maka baiklah kita coba kelompokkan Sembilan Wasiat ini menjadi 3 (tiga) trilogi sebagai berikut :
1. Al-Ikhlash fis-Sirri wal ‘Alaniyah (Bersikap Ikhlas Secara Tersembunyi atau Terang-terangan)
Al-Ikhlas (sincerity, surrender) artinya memurnikan segalanya hanya untuk Allah semata, memulai segalanya dari Allah, melakukannya karena Allah dan mengakhirinya untuk Allah.. Lawan dari ikhlas adalah semua kondisi hati yang muncul dari maksud-maksud untuk selain Allah, seperti “riya’” (berbuat karena ingin dipuji orang) atau “ujub” (bangga dengan diri sendri, merasa diri paling baik) dan lain-lainnya. Riya dan ‘Ujub ini merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, Bahkan Rasulullah menganggap riya’ sebagai “syirik ashghor” (syirik terkecil) yang paling beliau takuti untuk menimpa umatnya, karena kebanyakan syirik –dalam segala bentuknya – memang bersumber dari riya’ .
Dalam hadits ini, Allah dan RasulNya menyuruh kita, untuk senantiasa bersikap “ikhlas” dalam segala kondisi; dimana dan kapan saja ; baik secara tersembunyi (sendirian, diam-diam, di tempat-tempat tertutup, tanpa diketahui orang) ataupun secara terang-terangan (ketika bersama orang lain atau di tempat-tempat terbuka). Ketika sendirian, barangkali kita bisa bersikap ikhlas dengan mudah, karena kita terhindar dari sifat riya’ atau pamer, walaupun kita harus tetap hati-hati dengan sifat ‘ujub yang seringkali muncul dalam hati, secara diam-diam. Namun ketika kita berada di tempat terbuka atau bersama orang-orang lain, seringkali kita kesulitan untuk bersikap ikhlas yang sebenarnya, karena penyakit-penyakit hati tersebut (terutama riya’) pada suasana yang demikian begitu mudah muncul di hati kita, tanpa kita sadari. Na’udzubillah.
2. Al-‘Adl fir-Ridho wal-Ghodhob (berlaku “adil”, dalam keadaan Rela atau Marah)
Al-‘Adl (justice, fairness) artinya bersikap seimbang, sama, fair, terhadap dua objek yang bertolak belakang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Lawan dari adil adalah “dholim” (injustice), yang berarti aniaya kepada diri sendiri atau kepada orang lain serta sikap-sikap yang menjurus pada ketidak-adilan, seperti tirani, sewenang-wenang, memihak, merampas hak-hak orang lain, dan lain-lainnya. Dalam Islam, keadilan menempati posisi yang sangat sentral dan strategis dan merupakan “inti dari substansi” ajaran Islam, terutama dalam aspek kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai inti dari ajarannya, Islam tidaklah demikian. Kasih dalam kehidupan pribadi, apalagi sosial, bisa berdampak buruk dan negatif Sekedar contoh, seorang hakim seringkali tidak tega menghukum seorang penjahat, gara-gara dia kasih atau sayang kepada si penjahat tersebut, dengan berbagai latar belakangnya.. Jadi, keadilan yang ditegakkan dengan sebenar-benarnya pasti mengandung kasih, Tapi kasih, apalagi yang berlebihan, justru seringkali bertolak belakang dengan keadilan dan rasa keadilan. Dalam hal ini, Al-Quran memerintahkan kita untuk selalu bersikap adil, hatta kepada diri sendiri, kepada ayah ibu, dan kepada keluarga dekat kita (QS, An-Nisa’, 4, 135). Bahkan kita diperintahakan untuk tetap bersikap adil kepada musuh-musuh kita, walaupun kita tidak suka kepada mereka (Al-Maidah, 5, 8): Subhanallah wa shodaqollah.
Dalam hadits ini, Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk senantiasa bersikap “adil” dalam segala situasi dan kondisi, kepada siapa dan kepada apa saja. : baik ketika kita sedang ridho (suka, senang, like) maupun ketika kita sedang ghodhob (marah, tidak suka, dislike). Sikap ridho/like, biasanya muncul karena adanya hubungan kekeluargaan atau persahabatan, karena punya interes tertentu, baik pribadi atau kelompok, bahkan bisa karena adanya unsur sogok menyogok (risywah). Sedangkan ghodhob/dislike, biasanya muncul karena adanya penyakit-penyakit dalam hati (ghillun fil qolb), seperti dendam, iri hati, hasud, dll. Berlaku adil dalam keadaan ridho “sama sulitnya” dengan berlaku adil dalam keadaan ghodhob Karena itu, seseorang yang sedang terlibat dalam suatu masalah, atau sedang dikuasai oleh nafsu “like or dislike”, sebaiknya tidak menjadi hakim yang memutuskan suatu masalah, karena bisa menjurus pada kedholiman dan ketidak adilan.
3. Al-Qoshd fil Ghina wal-Faqr (Bersikap “sederhana” dalam keadaan Kaya atau Miskin)
Al-Qosd (sederhana, simplicity) artinya bersikap apa adanya, tidak berlebihan dan sesuai dengan kebutuhan. Lawan kata dari al-qoshd adalah (ta’addy, tajawuz, exceeding, overleap) artinya bersikap berlebihan atau melampaui batas-batas kebutuhan atau batas-batas kewajaran. Secara tersirat, dalam kata al-qoshd ini, sebenarnya terkandung makna “adil” yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Sekedar contoh, untuk memenuhi kebutuhan atau menjalankan tugas sehari-hari, sebenarnya kita hanya memerlukan 1 (satu) mobil, umpamanya.. Tapi karena kita kaya, kita justru membeli 3 atau 4 mobil sekaligus dengan alasan yang terkesan dibuat-buat (artifisial). Dalam posisi ini, kita tidak lagi disebut sederhana. karena kita sudah melakukan pemborosan (tabdzir), bahkan kesombongan (takabbur) yang sangat tercela. Sebaliknya, apabila tanpa mobil, kita tidak mungkin bisa menjalankan tugas-tugas dengan baik, umpamanya, tapi kita tidak mau membelinya padahal kita mampu untuk itu, maka kita tidak lagi disebut sederhana tapi sudah menjurus ke derajat kikir atau bakhil. Dalam Al-Quran disebutkan : Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu (terlalu kikir), dan jangan pula mengulurkannya seulur-ulurnya (terlalu pemurah), sehingga kamu jadi tercela dan menyesal (Al-Isro’, 17. 19)
Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk bersikap “sederhana”, baik dalam keadaan kaya (berkecukupan, sedang berkuasa) ataupun miskin (berkekurangan, sedang tidak berkuasa) Dalam keadaan miskin, bersikap sederhana memang tidak terlalu sulit, karena dia memang miskin dan tidak mampu untuk bersikap berlebihan. Tapi harus disadari bahwa tidak sedikit orang yang miskin atau pas-pasan, namun cara hidupnya boros dan berlebih-lebihan. Inilah orang yang paling celaka, dalam konteks kesederhanaan itu, Sebaliknya dalam keadaan kaya, bersikap sederhana itu memang agak sulit, karena dengan kekayaan itu sebenarnya dia punya peluang untuk hidup berlebihan atau berfoya-foya. Tapi dengan penuh kesadaran, dia memilih untuk hidup sederhana dan menampakkan kesederhanaan dalam segala aspek kehidupannya Inilah sebenarnya orang yang paling arif dan bijaksana Kiranya tepatlah apa yang dikatakan para Ahli Hikmah : “Orang yang paling celaka adalah orang miskin yang hidupnya berfoya-foya, dan orang yang paling bijaksana adalah orang kaya yang hidupnya sederhana”. Jelasnya, sederhana itu bukan berarti pasrah atau menyerah pada nasib, tapi sederhana adalah pilihan sikap bathin yang bersumber dari kesadaran hati yang paling dalam dan mengandung semangat atau optimisme untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Demikianlah Trilogi Pertama (tiga hal yang saling terkait) dari “Sembilan Wasiat Allah dan RasulNya” kepada kita. Semoga bisa dilanjutkan dengan pembahasan tentang Trilogi II dan III, pada edisi-edisi berikutnya.
Ikhlas, Adil dan Sederhana memang merupakan suasana bathin yang harus melahirkan keyakinan dan komitmen yang kokoh dalam hati kita, tapi pada saat yang sama, kita harus bisa membuktikan ketiganya dalam prilaku dan budaya kita sehari-hari. Semuanya ini akan memiliki “nilai tambah” yang signifikan dan determinan, kalau bisa dilakukan oleh mereka yang saat ini sedang menerima amanat khusus dari Allah SWT, baik berupa amanat kekuasaan (Umaro’/Penguasa), atau berupa amanat ilmu pengetahuan (Ulama’/Cendikiawan), maupun yang berupa amanat kekayaan (Aghniya’/Hartawan), karena mereka inilah sebenarnya yang menjadi 3 pilar tegaknya kahidupan dunia ini, untuk mencapai kebahagian di akhirat nanti, selain dukungan, simpati dan doa-doa para Grass-Roots (Fuqoro’/Rakyat Kecil). Wallahu A’lam wa Ahkam

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More